Teks Kuratorial

Oleh Sandy Hsiu-chih Lo

Metaphors About Islands

Dunia masih dalam ancaman COVID-19, dan masih belum diketahui kapan pandemi akan berakhir. Pandemi abad ini telah menyebabkan jutaan jiwa melayang dan banyak orang kehilangan pekerjaan. Namun, jarak antara orang kaya dan miskin di dunia kian melebar. Dengan hubungan Amerika-Cina-Eropa-Rusia sebagai poros utama, geopolitik dari berbagai wilayah di dunia juga menghadapi tantangan-tantangan baru, dan pertarungannya semakin mengarah pada dunia jaringan virtual daring. Peluang-peluang bisnis besar dalam industri angkasa memudahkan penjelajahan semesta untuk memasuki kembali bidang penglihatan manusia. Perebutan kekuasaan juga telah meluas dari permukaan ke angkasa. Bencana-bencana yang disebabkan oleh pemanasan global menyebar ke seluruh dunia; maka, fokus pada lingkungan dan ekologi menjadi masalah yang tidak boleh ditunda. Selain tantangan-tantangan di atas, Jakarta, lokasi Jakarta Biennale 2021 yang menyajikan Ring Project #1 "Metaphors About Islands", juga menghadapi ancaman-ancaman serius berupa penurunan permukaan tanah dan kenaikan permukaan air laut.

Di Nusantaria sebagai kepulauan terluas di dunia, tiap pulau memiliki pengalaman historis yang serupa. Jika melihat sejarah, jejak masa lalu Nusantaria sampai ke Cina, India, dan Afrika secara kultural terjalin dengan pengaruh perdagangan, budaya, serta imigrasi India, Cina, dan Arab, dan mereka juga telah mengalami penjajahan Eropa berkali-kali, perjuangan untuk kemerdekaan, serta globalisasi setelahnya. Dari perspektif pulau, Indonesia memiliki jumlah pulau terbesar di dunia. Sampai taraf tertentu, hubungan antara pulau-pulau yang tak terhitung jumlahnya di Asia dengan pulau-pulau tetangga mirip dengan Pulau Jawa. Maka, "Metaphors about Islands" hendak menggunakan imajinasi metaforis melalui lensa pulau untuk mencoba memetakan Asia bagian dalam secara alternatif dan hubungan-hubungan di dunia melalui kolaborasi antara 41 seniman dan kolektif dari negara-negara Asia.

Hati Sebagai Sebuah Pulau

Nyatanya, hati setiap orang adalah sebuah pulau. Khususnya di era pandemi global, pemaksaan individu untuk terisolasi di rumah masing-masing menyerupai pulau terpencil. Membangun hubungan dengan dunia luar menjadi tantangan besar, khususnya dalam hal mobilitas, koneksi, imajinasi, dan kreativitas. Itu merupakan prinsip yang tidak pernah berubah. Proyek kuratorial "Metaphors About Islands" ini berawal dari "Hati sebagai sebuah pulau" untuk mereka ulang hubungan antara individu dengan dunia.

Rahic Talif x Volume Escape, "The Message": Selama bertahun-tahun, Rahic Talif membuat karyanya melalui "tindakan" mengumpulkan sendiri sampah laut sebagai praktik keseharian pribadi, juga sebagai contoh epistemologi seni baru yang luar biasa. Iabagaikan pelaut yang telah berlayar mengarungi lautan yang berbahaya, kembali ke habitat teluk dan membentuk epistemologi yang merefleksikan lingkungan ekologi. Iamemulai dengan sandal yang menyerupai pulau untuk menggambarkan imajinasi kepulauan yang unik. Tiap sampah sandal adalah pulau beserta narasinya yang khas, menanti untuk disimak. Volume Escape memanfaatkan dewi laut Nyai Roro Kidul untuk menggaungkan mitos yang serupa tentang dewa laut orang Taiwan Amis, tempat asal Rahic, sekaligus sebagai penghormatan bagi para buruh pabrik perempuan di Sukabumi, kota asal Volume Escape. Kisah hidup setiap buruh bagaikan bisikan pulau terpencil yang tidak terdengar sehingga harus lebih banyak didengarkan dan dibicarakan.

Rencana awal Hanoi Doclab x Cut and Rescue adalah menggunakan video sebagai surat untuk berkomunikasi antar kedua kelompok. Hasil perkembangannya menunjukkan beberapa perbedaan. Hanoi Doclab lebih suka menggunakan kreativitas artistik puitis untuk membentuk metafora pulau, seperti memakai konsep utopia untuk menciptakan taman apung dengan konotasi suspens estetik; fantasi kosmis yang memperlakukan bumi dan planet lainnya sebagai pulau-pulau terpencil; menggambarkan reruntuhan pulau-pulau terlupakan dengan citra dedaunan tertiup angin. Cut and Rescue memusatkan perhatiannya pada tempat pembuangan sampah akhir Bantar Gebang di Jakarta. Gunung sampah yang telah beroperasi sejak tahun 1989 seusia dengan rata-rata anggota Cut and Rescue. Maka, Gunung Sampah tidak hanya menjadi masalah lingkungan ekologi, tetapi juga sebuah metafora eksistensi.

"Beneath the Mind, Into the Soul" karya Noorlintang "Nori" Suminar x Sobat Seni disajikan dalam bentuk teater panorama, memudahkan audiens untuk memasuki bagian terdalam dari pulau melalui pengalaman mendalam, serta menjelajahi keinginan jiwa yang tak berdasar dalam proses pencarian identifikasi diri.

Aku melihatmu di pulau lain dari pulau ini

Ada banyak sekali hubungan antarpulau, tidak hanya dari perbedaan luas wilayah, tetapi juga hubungan tuan dan budak, atau keterkaitan historis, ekonomi, politik, dan kebudayaan yang istimewa. Tidak peduli dari pulau mana atau melihat dari perspektif mana, kalian akan melihat bahwa terdapat kemungkinan yang tak terhingga untuk mendeskripsikan gambar "Aku melihatmu di pulau lain dari pulau ini", yang menjadi garis besar hubungan antara satu pulau dengan pulau lainnya.

YAO Jui-Chung x Prfrmnc.rar, "Keyeup Bodas Kingdom": Didasari oleh "membangun hubungan diplomatik" antara negara fiktif "Republic of Cynic" Yao (singkatan negara tersebut adalah R.O.C. seperti Republic of China, membaca identitas nasional kolektif dari pulau-pulau Taiwan dengan humor gelap) dengan negara lain yang divirtualisasikan oleh Prfrmnc.rar, "Kerajaan Keyeup Bodas" (dirancang pada masa penjajahan Belanda, Jatigede, waduk yang dibangun pada tahun 2008 dan beroperasi pada tahun 2017, terletak di Jawa Barat. Karya ini menjalin narasi mitos lokal, konteks sejarah, serta memori spasial di tanah tersebut), ini merupakan pandangan imajinasi yang mengangkat sekaligus menyindir identitas kolektif yang halus. Ini adalah ilusi dalam realitas dan aliran hasrat yang kuat.

Grafis Huru Hara x Forum Sudut Pandang (FSDP), "Lucky Gift": Banyak orang terbiasa membeli cinderamata setempat saat bepergian jauh. Cinderamata yang tengah populer biasanya terkait dengan ingatan kolektif setempat, representasi identitas, monumen peringatan, ekologi khusus, dan lain-lain, semuanya berasal dari nilai-nilai positif dan khas daerah tersebut. Karya kolaboratif ini bertujuan mereka ulang dan turut campur dalam pembuatan cinderamata dari berbagai tempat, merefleksikan narasi cinderamata, serta menawarkan alternatif dari rekaan ingatan setempat.

Baan Noorg Collaborative Arts and Culture x Extract Collective, "Ruma No. 555": Kolektif asal Thailand Baan Noorg Collaborative Arts and Culture dan Extract Collective, sebuah kolektif asal Indonesia dengan anggota-anggota lintas kota dan lintas disiplin, saling berinteraksi dengan memahami perbedaan aspek sosial budaya masing-masing, memainkan peran tuan rumah dan tamu secara bergantian, serta mengadakan pertukaran gratis dan dialog. Pertukaran tersebut sesekali menjadi perdebatan atau pertemanan yang tidak sah. Audiens akan berkomunikasi dengan bebas dalam lingkungan rumah yang telah diubah menjadi ruang tamu dan ruang makan, kemudian membagikan hasil komunikasi yang dilakukan keduanya selama 10 bulan. Karya ini menjadi metafora "membangun pertemanan" yang terbaik.

Mutiara Dewa yang Hilang

Keterkaitan antara pulau-pulau kerap diberi julukan yang indah, seperti "Mutiara Dewa yang Hilang", "Gelang Mutiara", "Kalung Mutiara", dan lain-lain. Sebagian hubungan antarpulau menyimpan keintiman yang sama indahnya dengan julukan tersebut; namun, ada pula hubungan antarpulau yang misterius dan menggugah pikiran seperti julukannya. Sebagai metafora kepulauan, "Mutiara Dewa yang Hilang" bertujuan untuk mereka adanya kemungkinan hubungan antara kelompok atau kolektif, atau kemungkinan skenario-skenario narasi kolektif.

Lin Yichi x Blanco Benz x Studio Malya, "Island Echoes": Karya ini hendak mengeksplorasi harapan, ketakutan, ketidakpastian, kehidupan dan kematian, kekerasan berlapis, serta isu-isu terkait seperti kerapuhan kehidupan dengan mercusuar sebagai metafora dan narasi perompak yang gemetar dan menawan. Menerapkan sejumlah dialog untuk menampilkan rekaman realitas, mengajak pengunjung untuk menggunakan alat berbentuk suar untuk memulai dialog, serta membangun bunyi polifonik dari imajinasi-imajinasi kedua kolektif melalui "pembacaan drama" partisipatif dalam bahasa yang berbeda-beda.

Yuma Taru x Komunitas Kahe, "Linking": Butuh penelitian lebih lanjut untuk membangun lintasan bangsa Austronesia yang hanyut karena memori kolektif yang retak. Karya ini merupakan simulasi penggalian lubang arkeologi dan memanfaatkan tenun Atayal sebagai upaya menghubungkan suku Atayal di Taiwan dengan kebudayaan Austronesia di Flores, Indonesia melalui ruang dan waktu. Karya ini juga merupakan interpretasi alternatif atas peninggalan budaya Austronesia di Flores serta sebagai titik awal untuk eksplorasi lebih jauh dan mempertanyakan "kebersamaan" di masa depan.

Britto Arts Trust x Sinau Art: "EC-ON" karya Sinau Art dan Britto sama-sama berfokus pada makna simbolis bahan pakaian. Umumnya, pakaian menyimpan ingatan kolektif atas identitas budaya, geopolitik, identitas agama, status sosial dan ekonomi, serta kebudayaan nasional. Namun, industri mode juga menjadi salah satu faktor utama yang merusak lingkungan. Maka, mereka menggunakan bahan daur ulang atau ramah lingkungan untuk membuat patung lunak yang kemudian dipamerkan bersama dengan alat musik yang terbuat dari sampah, membangun narasi kontemporer atas kain tradisional atau tenun serat dalam bentuk patung lunak dan mengaitkan hubungan-hubungan budaya lewat rajutan lungsin dan pakan.

Haoritsa x KATAKERJA, "Tukar Tutur: Melanesian and Austronesian Market": Mereka memetakan  kepulauan milik kehidupan dan pertukaran komoditas orang-orang biasa lewat gambar dan teks di pembungkus makanan untuk memunculkan pengalaman indera seperti penglihatan, pengecap, penciuman, dan peraba, serta untuk menggambarkan peta alternatif atas hubungan antar negara Asia.

Pulau-Pulau yang Terlupakan

Ada banyak pulau yang pernah muncul dalam sejarah namun lama terlupakan dalam suatu ruang dan waktu atau terlantar di sudut yang tidak diketahui. Terlebih lagi, sejumlah pulau terpencil yang berdampingan dengan kita di ruang dan waktu saat ini terabaikan dengan berbagai alasan. Proyek kuratorial ini bertujuan untuk memandang pulau-pulau tersebut melalui perspektif artistik serta mengungkapkan pulau-pulau terpencil tersebut yang terlupakan oleh dunia.

Ugeng T. Moetidjo x Sanggar Seni Rupa Kontemporer, "In Search of Lost Time": Seluloid dokumenter jilid ketiga World Exposition tahun 1970 dikuret sebagai penggambaran pulau-pulau penjara untuk tahanan politik dari berbagai penjuru dunia. Dengan menguret gambar-gambar yang menguasai masyarakat teknologi tinggi dan menyanyikan kemajuan masa depan, sejumlah pulau pengasingan ditumpangkan, dan masa-masa pengasingan di setiap pulau dimasukkan untuk menuntut kekejaman aparat negara dan pemerintahan sosial. Rangkaian pulau khusus tersebut berfokus pada "subyek tak kasat mata" dan bentuk-bentuk "entitas politik alternatif" yang mempertanyakan tatanan global yang ada.

Lightbox Photo Library x Sokong! x RAWS Syndicate (RAWS SNDCT), "Force Majeure!": Ketiga kolektif ini telah lama mengedepankan peredaran buku foto. Strategi penempatan citra dalam karya ini adalah dengan mengumpukan gambar-gambar jadi dari internet atau media cetak, mengunjungi situs bencana untuk kemudian direkam, serta menerapkan teknologi pasca-produksi untuk mengganggu dan mengubah tema utama dari gambar untuk merefleksikan mekanisme peredaran citra kontemporer dan hubungan dialektis dengan kebolehjadian. Dengan mengganggu dan mengubah gambar, rangkaian narasi bencana ini menantang inersia kognitif audiens dan menyerukan pemikiran ulang terhadap bencana.

Shellda "Alienpang" x Roompok, "Lele Village": Karya ini menjadikan ikan lele sebagai tubuh utama dalam narasi pulau untuk membaca ulang bayangan alternatif tentang pulau dari sudut lain. Ikan lele dapat ditemukan nyaris di seluruh pulau di Asia. Ikan ini mampu beradaptasi dengan lingkungan dan menunjukkan ketangguhan. Karya ini tidak hanya menciptakan suasana karnaval hewan, tetapi juga secara samar meminta audiens untuk belajar dari animisme, sekaligus sebagai cerminan antroposentrisme.

Utopia Legendaris

Awalnya utopia merupakan pulau fiktif di Samudera Atlantis sekaligus masyarakat ideal yang dideskripsikan oleh Thomas More dalam buku Utopia yang diterbitkan tahun 1516. Akan tetapi, konsep-konsep lain seperti distopia, kakotopia, atau anti-utopia juga berasal dari situ. Dalam berbagai budaya, terdapat pula konsep yang serupa dengan utopia; maka, dalam proyek kuratorial ini, kami berupaya menemukan narasi baru yang membangun masa depan bersama dengan memikirkan ulang konsep utopia dan metafora distopia dan heterotopia dalam berbagai budaya dan legenda.

Gubuak Kopi: Kampung Jawa tempat asal Gubuak Kopi adalah tempat di mana ragam kelompok etnis hidup bersama, seperti Jawa, Minang, Batak, dan Keling (India), yang kemudian dikenal dengan singkatan JAMBAK. Narasi spiritual terhadap ragam kelompok etnis yang hidup berdampingan dan menjadi sumber vitalitas dan kosmologi baru bagi kampung tersebut. Lewat proyek ini, mereka mengajak partisipan dari berbagai kelompok etnis untuk mempelajari dan memikirkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat setempat, serta berdialog dalam bentuk insiatif spiritual yang baru.

HOU I-Ting x It's In Your Hands Collective, "Future Alchemy": Karya ini didasari oleh narasi fiksi ilmiah, membahas alkimia artistik ramah lingkungan, dan merefleksikan dampak pembangunan berlebihan dan produksi industri terhadap lingkungan. Platform kreatif berbasis narasi ini mengajak partisipan untuk mengajukan resep masa depan dengan penelitian ekologi, resep purba, arkeologi sejarah, dan fiksi ilmiah. Pada saat bersamaan, mereka mengalihkan perhatian pada perpektif non-manusia dan membayangkan tatanan semesta baru di masa depan dalam hal situasi saling ketergantungan spesies super dan kerja sama di dalam ekosistem.

Sa Sa Art Projects x Ruang Alternatif, "In Our Room": Ini adalah proyek kolaboratif antara Ruang Alternatif (Cirebon, Indonesia) dengan Sa Sa Art Projects (Phnom penh, Kamboja). Mereka menciptakan sebuah ruang di mana audiens dapat berkumpul dan merasakan seni dan budaya masyarakat Indonesia dan Kamboja melalui berbagai indera.

Putri Ayu Lestari x Kecoak Timur, "Manunggaling Lemah": Proyek kolaboratif ini memanfaatkan media sosial untuk meriset, menerapkan tanah sebagai sarana untuk merefleksikan identitas dan narasi di tempat-tempat lain, serta menampilkan dunia dari aspek perayaan rakyat melalui ritual pernikahan yang meriah. Narasi multibahasa dan majemuk dari proyek ini memperlihatkan hubungan dialog tanpa akhir antar manusia dan juga menyimbolkan peluang-peluang tak terbatas terhadap hubungan antar tanah.

LASANAA x Siku Ruang Terpadu, "Membongkar Tembok-tembok Tak Terlihat: Hadir-Hadir Bersama-Bersatu": Lewat seni performans dan seni bunyi, karya ini menampilkan arus hati manusia antara harapan dan keputusasaan, ketangguhan dan kerapuhan, serta evolusi dan adaptasi di bawah pandemi global COVID-19, merefleksikan fenomena yang menyebabkan kegelisahan global. Ini merupakan perpaduan polifonik dari narasi artistik yang merespon pandemi dalam kehidupan sehari-hari. Perangkat berbentuk spiral akan membuat audiens merasa berada dalam ruang ritual tertentu. Mereka seolah mengikuti upcara kolektif dengan suatu tindakan tertentu dengan melihat dan mendengarkan.

Lostgens x Tudgam, "Warung": Mereka membawa warung, yang umum ditemukan di Indonesia dan Malaysia, ke dalam museum untuk menciptakan ruang interaksi dengan publik menggunakan lukisan, cetakan, dan letterpress sebagai medium penciptaan karya seni yang menampilkan lanskap budaya dan sejarah Malaysia dan Indonesia. Audiens diajak untuk menceritakan kisah hidupnya melalui rekaman video atau audio untuk ditukar dengan karya. Transaksi ini menolak segala bentuk uang. Karya interaktif ini memperlakukan seni sebagai proyek publik, non-komersial, komunikatif, dan holistik dengan sikap anti-kapitalis, anti-elit, dan tidak disetir oleh pasar, dan dekat dengan pengalaman hidup sehari-hari publik, narasi kehidupan yang merengkuh perbedaan individu.

"Hoodwink" karya Zhang Xuzhan and Pind.ink terinspirasi oleh riset Xuzhan saat melakukan residensi di Yogyakarta. Ia menerapkan Sistem Klasifikasi Alnay-Thompson untuk mengklasifikasikan cerita rakyat, meriset kancil sebagai tema umum dalam cerita rakyat Indonesia, serta menambahkan kostum tradisional Taiwan yang dipakai untuk parade keagamaan untuk mengubah citra separuh-rubah, separuh-kancil untuk bersama-sama menginterpretasikan protagonis "AT5" dalam narasi yang berubah-ubah dari reorganisasi kisah secara acak. Dengan cara yang sama, proyek kolaboratif ini terinspirasi oleh kisah "Aunt Tiger" dari Taiwan, "Nenek Pakande" dari Sulawesi Selatan, dan "Gadis Berkerudung Merah" dari Eropa untuk mempertanyakan metode mendidik anak. Padahal, ancaman bagi anak bukanlah monster dalam kisah-kisah tersebut, melainkan polusi lingkungan, pemanasan global, kekerasan daring, perang, dan kekerasan dalam rumah tangga. Dunia fiktif dalam karya ini masih menjadi distopia yang sulit dihindari anak-anak. Karya ini menampilkan runtuhnya gambaran sosial kontemporer untuk mengekspos pada anak-anak kejamnya masyarakat yang sesungguhnya.

Seperti utopia dialektis yang dideskripsikan oleh Jean Baudrillard, utopia adalah modifikasi mendasar dari tatanan yang ada. Utopia merupakan konstruksi teoretis dan hanya bisa muncul sebagai bagian dari utopia dialektis. Lewat utopia yang diperbarui secara dialektis, barulah kita dapat mengartikulasikan cita-cita kediaman yang baru, baik di dalam maupun di luar sistem saat ini. Kendati demikian, narasi utopia harus jamak.

"Metaphors about Islands" tidak hanya menekankan pada perbedaan individu, tetapi juga merupakan bayangan komunitas yang baru berdasarkan politik, etika, dan estetika. Ini bukan upaya untuk membangun identitas kolektif Nusantaria laut Asia Tenggara, melainkan sebuah upaya untuk berdialog serta mempertimbangkan pluralisme dan perbedaan dalam narasi artistik dari metafora pulau dalam menanggapi situasi "kebersamaan" yang mendasarinya melalui kolaborasi antara 41 seniman dan kolektif. Membangun pertemanan dengan tangan terbuka dan salam hangat tidaklah mudah. Dengan memikirkan ulang hubungan dari pulau-pulau terisolasi ke kepulauan dan menganggap berdialog sebagai tindakan, barulah kita dapat mengumpulkan energi politik saat ini yang menghubungkan masa lalu dan menghadapi masa depan.

Teks Kuratorial

Oleh Gudskul

Presentasi Ring Project #1: Metaphors About Island adalah tuaian proyek seni kolaboratif antarlokalitas yang dirintis dan diko-kuratori oleh Gudskul (Jakarta) dan Sandy Lo (Taipei), serta didukung oleh Taiwan National Culture and Arts Foundation. Dimulai sejak Maret 2021, proyek ini merupakan usaha adaptasi, pemulihan dan solidaritas dalam ranah seni, ketika pandemi global memacu kita mencari daur baru kerja-kerja bersama antarlokalitas. Dalam Metaphors about Island, beraneka pandangan dan kiasan akan ‘pulau’ menjadi gagasan pengikat bagi para seniman dan kolektif yang terlibat pada proyek perdana ini. Selama sepuluh bulan, mereka berdialog, memaknai ulang, berspekulasi dan menguji arti kedekatan, kediaman, keberlangsungan hidup, kebersamaan, keberagaman, kehadiran, keterhubungan dan kesetaraan dalam lingkup ‘pulau’ masing-masing di zona waktu yang berbeda satu sama lain. Ring Project #1 memasangkan 20 seniman dan kolektif seni dari Bangkok, Bangladesh, Hanoi, Jakarta, Kathmandu, Kuala Lumpur, Mumbai, Phnom Penh dan Taipei, dengan 22 kolektif seni Indonesia yang merupakan peserta Gudskul Studi Kolektif dan Ekosistem Seni Rupa Kontemporer angkatan ke-3 2020/2021 yang tersebar di Bandung, Batu, Cirebon, Gresik, Kuningan, Jakarta, Makassar, Maumere, Nganjuk, Palu, Sidoarjo, Solok, Sukabumi, Surabaya dan Yogyakarta.  Butir-butir dari proses para seniman dan kolektif dari berbagai lintasan waktu dan tempat inilah yang turut melengkapi gugusan dan gagasan acara Jakarta Biennale 2021: ESOK di Museum Nasional, Jakarta kali ini.

Sebagai platform studi kolektif dan ekosistem seni rupa kontemporer, Gudskul dibuat atas dasar kesadaran bahwa kita membutuhkan upaya bersama untuk berjuang menghadapi bermacam tantangan masa kini sembari bersiasat menuju #ESOK. Bekerja secara kolektif, membuat ruang untuk berbagi pengetahuan, serta memperbolehkan siapapun untuk gagal dan mencoba lagi adalah langkah-langkah yang niscaya mampu menguatkan diri sendiri dan sesama. Kita tidak bisa bekerja sendirian dalam membangun dan menggerakkan ekosistem kesenian dan kami percaya bahwa berkolektif adalah cara untuk maju menghadapi #ESOK.

Jika sebelumnya para peserta studi kolektif Gudskul terdiri dari perorangan, dan keseluruhan proses belajar terjadi secara fisik, para peserta Gudskul angkatan ke-3 2020/2021 adalah angkatan pertama yang terdiri dari kolektif dan mengikuti keseluruhan proses studi secara daring. Kendati dirundung oleh segala kekalutan dalam beradaptasi dengan platform komunikasi digital karena ketidakmerataan jaringan internet yang kuat, serta kerinduan untuk bertemu langsung seperti sediakala, haluan ini nyatanya membawa banyak berkah baru. Angkatan mereka mempertemukan dan mewujudkan kemungkinan kolaborasi dan jejaring yang lebih luas ke berbagai pulau yang sebelumnya nyaris tak terjangkau karena terhambat ongkos atau kurangnya informasi. Alih-alih terkungkung dan menyendiri, para anggota kolektif yang kemudian hadir di Ring Project ini menjalin pola-pola kesinambungan untuk saling berbagi dan memulihkan, dengan mengedepankan daya juang dan lingkungan asal masing-masing.

Jika kita membayangkan lajur yang ditempuh dari lokasi-lokasi para kolektif angkatan ke-3 ini, lalu dihubungkan dengan seniman dan kolektif dari lokasi yang lebih banyak lagi, kemudian berlabuh di Jakarta Biennale sebagai penyedia anjungan karya mereka, dan terakhir kembali ke lokalitas masing-masing, lajur tak putus tersebut bisa diandaikan sebagai cincin-cincin. Lajur cincin-cincin ini akan menyalakan koneksi, meneroka perputaran pengetahuan, mengawinkan konteks-konteks yang berseberangan, menawarkan cara-cara baru dan menyatukan kekuatan bersama. Lajur ini pun menjadi rotasi yang dapat membawa perubahan kini dan #ESOK.

Dikuratori Oleh

Avatar photo
Sandy Hsiu-chih Lo

Sandy Hsiu-chih Lo adalah kurator, kritikus seni, dan sineas dokumenter independen, di mana area riset utamanya termasuk studi perkotaan, konstruksi ruang secara filosofis, politik gender, seni asli kontemporer, kurasi di pinggiran, pengetahuan terletak, dan sejumlah epistemologi. Program terkininya fokus pada kurasi sebagai metode praktik sosial, praktik spasial, dan berpikir kritis. read more ...

X
Avatar photo
Gudskul

Gudskul: studi kolektif dan ekosistem seni rupa kontemporer adalah ruang belajar untuk publik yang dibentuk oleh tiga kelompok seni di Jakarta: ruangrupa, Serrum, dan Grafis Huru Hara (GHH). Sejak awal 2000-an, ketiganya aktif bekerja dalam ranah seni rupa kontemporer dengan menggunakan model kerja kolektif dan kolaboratif. Pada 2015, kelompok-kelompok tersebut read more ...