Pemutaran film akan hadir sebagai bagian dari rangkaian program publik Ring Project “Metaphors about Islands” berkolaborasi dengan Waley Art, menghadirkan 4 film pendek karya seniman dari Taiwan dan dilanjutkan dengan sesi bincang-bincang bersama seniman.
Dari kondisi geologis, jalinan narasi pulau dan dewa tanah, visualisasi iman, hingga kolonialisme, dideskripsikan dan ditawarkan melalui perspektif seniman ke dalam video.
Pemutaran film akan dilaksanakan di Museum Kebangkitan Nasional (Ruang Audio Visual), Minggu, 16 Januari 2022 Pukul 12.00 WIB – Selesai.
Kapasitas pemutaran film dibatasi hingga 20 orang. Pintu akan ditutup setelah kapasitas terpenuhi. Pendaftaran dilakukan langsung di tempat pemutaran.
Earthquake Disaster, Shooting and Dead Body
Jepang, Taiwan, Indonesia dan Nepal terletak di perbatasan antara lempeng tektonik dan zona patahan dengan kondisi geologis yang serupa. Gambar-gambar jasad korban bencana jarang ditemukan di daerah yang sangat berkembang. Sebaliknya, foto-foto jasad banyak ditemukan di daerah pinggiran. Dimulai dengan foto jasad korban bencana gempa bumi di Taiwan, yang pada saat itu berada di bawah penjajahan Jepang, ” Earthquake Disaster, Shooting and Dead Body” menghubungkan foto korban gempa bumi tahun 1906 di Taiwan dengan foto pasca-bencana kontemporer di Kathmandu, Wenchuan, Kobe dan Indonesia. Menggambarkan tangan-tangan para korban, video ini membangun naratif rangkaian produksi fotografi kematian dan nekrofilia.
Liang Ting Yu (lahir 1994, Taiwan) meraih gelar magister dalam jurusan seni lintas disiplin di Taipei National University of Arts. Praktik Liang berfokus pada memadukan investigasi dan studi wilayah dengan tindakan seni berbasis proyek dan seni media padu. Ia meneliti isu-isu terkait arsip sejarah dan relasi etnis, dan baru-baru ini mengeksplorasi arsip serta mitos dan legenda setempat. Dengan memanfaatkan imaji bergerak, kisah hantu setempat, produksi imaji, dan penulisan, ia menciptakan karya seni yang melihat hubungan antara hantu dengan topografi.
Copy Island
Video “Copy Island” didasari oleh sebuah kuil yang dibangun di pulau buatan. Mengikuti wasiat Dewa tanah, sebuah pulau buatan di kolam terpencil dibangun oleh penduduk setempat dan menciptakan lanskap fiktif yang muncul di realitas.
Video ini dibuat dengan jalinan narasi pulau dan Dewa tanah, menggunakan teknik model 3D dari piranti lunak komputer untuk mensimulasikan proses visualisasi keyakinan pada agama, memindahkan spiritualitas dari zaman-zaman yang berbeda secara fiktif, untuk merefleksikan bagaimana alam dikapitalisasikan di masyarakat, dan pada saat bersamaan menanggapi ideologi Taiwan sebagai sebuah “pulau”.
Yan-Xiang Lin, lahir di Taoyuan, 1997. Meneruskan studi di Graduate Institute of Trans-disciplinary Arts, National Taipei University of the Arts.
Karyanya berfokus pada sejumlah perumpamaan dalam kata, gambar, dan tubuh, dan telah lama tertarik dengan flora dan fauna, geopolitik, keyakinan agama, serta isu-isu lainnya. Dengan jalur sebagai awal mula pemikiran, menemukan perbatasan di tengah-tengah batasan yang terus berubah. Lewat praktik lapangan dan menulis, ia menghasilkan berbagai perbedaan serta pengalaman-pengalaman perseptual, kemudian menanggapi fenomena sosial dan rasa yang menjadi fokus utamanya.
Proyek-proyek terbarunya antara lain studi dewa tanah dari perspektif kepercayaan pan-spiritual: Fu-De (福德), dewa-dewa gunung, dan Kuil Lyu-Feng, yang menunjukkan Xinbei dan Taoyuan, aerotropolis di kota asalnya yang diakuisisi oleh pemerintah, Burung Ibis Suci yang menanggapi politik lingkungan dengan tema hewan, dan lain-lain.
Ia menjadi peserta dan kurator Reentry TNUA Dept. New Media Art Graduate Exhibition tahun 2019, berpartisipasi dalam Island Tales: Taiwan and Australia di Taipei Fine Arts Museum. Ia juga berpameran dalam The Wandering Land God – Topology of the Gods di Kuil Beito Bao-de (流浪的土地公-北投社保德宮的神明地誌學) di Honggah Museum, Photo GO – Tainan International Foto Festival, Taoyuan International Art Award, dan lain-lain.
CARTOGRAPHIES
Saat menginjakkan kaki di zona kosong ini pada bulan Oktober 2019, aku ingin tahu jika aku, sebagai Homo Sapien modern, punya naluri binatang untuk mengikuti jejak yang ada di jalanku. Rute yang diambil orang Truku saat bermigrasi ke timur telah menemui modernitas kolonial pada akhir abad ke-19. Para penjajah membentuk pasukan untuk menguasai suku Truku dengan mengambil rute migrasi yang sama. Pemerintah kolonial membentur dunia suku nyaris seperti penyakit pandemi, dan tidak lama kemudian mereka memberlakukan sensus, jurisdiksi, dan sistem pajak. Untuk memperoleh makanan, para penduduk asli mengikuti jejak binatang untuk memperluas lahan perburuan mereka. Dalam sejarah lisan Truku, terdapat orang-orang kerdil kulit hitam yang tinggal di sini jauh sebelum mereka datang, dan tanah yang mereka tempati bukan penemuan mereka.
Para penjajah mengikuti jejak yang sama untuk memperluas pemerintahan, akan tetapi mereka membutuhkan teknik kolonial mumpuni yang pada akhirnya termasuk survei tanah, penyelidikan antropologis dan topografis, serta kartografi. Di negeri yang sulit ini, penerapan teknik pemerintahan harus menciptakan kesadaran kolektif imajiner yang mengesampingkan kehendak individu untuk membangun ideologi yang “tidak memanusiakan” penduduk asli di tanah tersebut. Hanya klaim “kebarbaran penduduk asli” yang bisa mengesahkan pembentukan negara. Jejak-jejak kontrol ini telah terjadi di tanah yang kini jarang ditelusuri dan sulit dicapai.
Pada saat proses modernisasi selesai, jalan raya lintas pulau yang dibangun oleh rezim yang mengambil alih pulau tersebut telah berbalik dan tidak lagi melintasi tempat ini. tanah yang kita sebut alam dan tertutup oleh hutan-hutan rahasia, penuh dengan sisa-sisa bangunan sekolah dan kantor polisi yang ditinggalkan oleh jejak pembentukan negara dan titik-titik survei yang tak terhingga jumlahnya.
Setibanya di situs lama suku Qlapaw, aku tidak sengaja menemukan pondok telantar di ladang di gunung. Pondok itu dibangun dengan kain kanvas bekas potret kampanye, bambu dan kayu dalam berbagai ukuran. Pondok itu seperti sarang yang dianyam dengan tali plastik oleh burung yang menganyam sarangnya di sampah dunia modern untuk bertelur. Ini menjadi dasar hotel Qlapaw di taman nasional itu, berkapasitas 60 orang dengan ruang makan dan kamar mandi, yang dibangun di situs rumah suku asli oleh para penjajah Jepang.
Kini, hotel taman nasional tersebut, yang dijuluki “Qlapaw Club” oleh para penjelajah peninggalan kolonial, hanya menyisakan kompor tiga tungku yang terbuat dari batu. Selama berabad-abad, orang-orang kerdil, binatang buas, orang Truku yang mencari lahan perburuan, penjelajah dari pasukan Jepang, orang Burma dan keturunannya, serta para buruh migran yang hilang—yang bersama-sama tiba, diusir, dan disingkirkan dari tanah asing—menetap di gunung tinggi. Setelah peta kekuasaan yang digambar oleh kartografer utusan negara tidak lagi mempedulikan tempat itu, yang tersisa adalah hantu pengembara yang menggambar peta berkelok-kelok di atas zona kosong.
— Oleh Cetus Chin-Yun Kuo
Chinyun Kuo, karya-karyanya berfokus pada medium material, ruang, dan interaksi antara manusia dengan ruang yang mereka tempati. Setelah lulus dari jurusan arsitektur Shih Chien University pada tahun 2012, Kuo telah terlibat dengan desain seni, spasial, dan teater. Karya-karya lanskap urban in situ-nya seringkali berada dalam bidang keseharian, menantang pemikiran akan kesadaran kolektif. Setelah pindah ke Berlin pada tahun 2016, Kuo menyadari posisi Taiwan yang istimewa dalam hubungan internasional, pengaruh kolonialisme, serta konflik di tengah sejumlah kelompok etnis dan identitas budaya di Taiwan. Sejak saat itu Kuo berfokus pada kolonialisme, migrasi manusia, dan globalisasi dalam karyanya, sekaligus mencari hubungan antara konteks sejarah dengan individu. Karya-karyanya sering dipamerkan sebagai instalasi, seni performans, dan proyek in situ. Saat ini Kuo mengambil program magister di jurusan Strategi Spasial di Kunsthochschule Berlin Weissensee.
Back to Glory: Juguang Garden 1
Dalam pameran ini, Chen Chun Yu mengajukan usulan untuk dinas militer warga lanjut usia, “Back to Glory: Juguang Garden”.
Sang seniman mengajukan sebuah masa depan hipotetis: bagaimana tanggapan kita terhadap masyarakat lansia? Saat bingkai waktu “daya guna” manusia diukir dengan kemampuan tenaga kerja, bagaimana cara kita menggunakan tenaga yang tersisa dengan lebih “efisien”? Chen memperlihatkan imajinasinya memilitarisasikan populasi lansia sebagai solusi, melawan imajinasi “menjadi hebat kembali” lewat pemikiran distopia. Jika gagasannya terwujud, apa yang akan kita lihat di adegan Juguang Garden (program televisi untuk tentara)?
Chen Chun-Yu lahir pada tahun 1989 di Kaohsiung, Taiwan, dan saat ini menetap dan bekerja di Taichung. Karya-karya Chen terinspirasi oleh pengamatan dunia mikro dan mengikuti metode perwujudan yang dilebih-lebihkan (mustahil). Menghadapi masalah dengan pendekatan yang tulus dan praktis bukanlah tujuan sang seniman, dan Chen lebih suka menanggapi secara humoris prinsip moral dan etika yang merembes melalui hubungan-hubungan yang tidak relevan, serta melumpuhkan imajinasi sosial yang memerlukan restrukturisasi.